Di kartu namanya tertulis sebagai ‘Konsultan Spiritual’, tapi beberapa waktu lalu ia meluncurkan sebuah film berjudul Ratai Bumi. Tema ceritanya memang tidak menyimpang jauh dari dunia yang ia tekuni, tapi seorang Konsultan Spiritual membuat film? Ini akan menjadi sebuah cerita yang menarik.

Saat ditemui di tempat prakteknya di kawasan Jatiasih, Bekasi, Ki Kusumo mengatakan bahwa ia bukan terkena ‘latah’ ikut-ikutan bikin film. “Saya hanya ingin menunjukkan bahwa pribumi juga bisa bikin film,” ucapnya. Di samping tentunya ia ingin menggali budaya Indonesia. “Karena saya ingin, lewat film Indonesia bisa terkenal di luar negeri,” imbuhnya.

Rantai Bumi, menurut Ki Kusumo memang betul-betul cerita yang diambil dari kisah nyata masyarakat Indonesia. Benda ‘bertuah’ yang dikatakan sebagai Rantai Bumi tesebut memang betul-betul ada. „Sayangnya saya tidak membawanya. Hargaya bisa mencapi 60 milyar,“ papar Ki Kusumo. Kesaktiannya tidak tanggung-tanggung, ia bisa memberikan kekebalan yang tiada tara pada pemiliknya. Orang lain di sebelah pemiliknya ikut kebal dan ini bisa berlaku hingga orang keseribu bahkan lebih, meski hanya terhubung dengan seutas benang sekalipun.

Memiliki ilmu kebal yang tiada banding, apa tidak tergiur memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi? Sembari tersenyum Ki Kusumo menggeleng. “Penghasilan saya lebih dari cukup untuk bisa ‘menggerak’kan hati dan pikiran saya memanfaatkan benda yang saya punyai. Saya tidak punya alasan untuk melakukan hal buruk.” Lagipula, imbuh Ki Kusumo, benda itu tergantug siapa yang pegang. Dipegang perampok ya, ia bakal jadi perampok ‘besar’.

Ada pesan tersembunyi yang ingin disampaikan Ki Kusumo, ia ingin semua orang, bahkan seluruh dunia tahu bahwa Indonesia memiliki ‘segala’nya. Kesalahannya adalah masyarakat Indonesia terlalu ‘malas’ untuk mengelola sendiri aset yang ada. “Asal tahu saja, saya jadi begini, karena masa kecil saya dulu sangat susah,” ceritanya. Karena susahnya, saya berjuang untuk tidak ingin susah terus-terusan. Orang kan tidak akan bisa menghargai keberhasilan, kalau tidak merasakan yang namanya susah.

Nah, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan segala ‘kemudahan’ yang diberikan alam, karenanya mereka kemudian menjadi ‘malas’ untuk mengolahnya. Alhasil, orang asing yang kemudian mengeksploitasi dan memperoleh keuntungan dari hasil alam kita, papar Ki Kusumo panjang lebar.

Demikian juga soal cerita, menurut Ki Kusumo, di masyarakat Indonesia itu terdapat banyak sekali ide cerita, inilah yang ‘menggelitik’nya untuk mengangkatnya ke layar lebar. “Kalau Thailand bisa terkenal lewat film-film lokal bergenre horor, seperti Nangnak, kenapa Indonesia yang sama-sama negara berkembag tidak bisa?” Padahal, tambah Ki Kusumo, ide cerita semacam itu di masyarakat kita nggak akan habis digali.

Soal benefit, Ki Kusumo yang mengatakan bahwa pekerjaan utamanya adalah Konsultan Spiritual, sementara membuat film hanya pekerjaan sampingan ini berseloroh bahwa pekerjaan sampingannya justru memberi benefit yang lebih besar. “Namun bukan berarti tanpa konsekuensi ya,” sergahnya cepat. Kalau konsultan spiritual kan tidak ‘mengeluarkan’ apa-apa, cuma duduk, ngobrol dan selesai begitu saja. Sedangkan kalau membuat film banyak tenaga dan pikiran yang dicurahkan. „Masih wajar kan kalau saya bilang benefit di film lebih besar?“ tanyanya sembari tersenyum.

Ketika ditanyakan soal perempuan, lelaki yang berencana membuat film lagi namun dengan genre horor romantis ini mengatakan bahwa perempuan yang dianggap cantik yang pertama kali dilihat adalah hatinya, baru kemudian fisik. Bagaimana bisa tahu hatinya cantik kalau baru pertama kali bertemu? „Kalau saya bisa tahu itu,“ jawabnya kalem. Ups, ternyata penulis lupa bahwa sosok yang sedang diwawancarai kali ini ‚bukan lelaki biasa’. ee